BATAM CENTER – Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto SH MH ikut membubuhkan tanda tangan pada spanduk penolakan Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan kantor DPRD Kota Batam, Senin (27/5/2024). Bersama puluhan wartawan yang tergabung dalam organisasi pers yang datang berunjukrasa, Cak Nur ikut menyatakan kekhawatirannya akan terkekangnya kebebasan pers akibat revisi tersebut.
Cak Nur mengatakan, dirinya turut mendukung kebebasan Pers yang sudah diperjuangkan sebagai buah dari reformasi. “Kebebasan Pers dan penyiaran saat ini mestinya dapat dipertahankan, bukan diperkecil ruang lingkupnya.” terang Ketua PDI Perjuangan Kota Batam tersebut.
Menurutnya, DPRD Kota Batam akan meneruskan dan menyampaikan keberatan dari rekan-rekan media di Kepri terkait revisi RUU penyiaran berkenaan. Diharapkan, bahan yang disampaikan akan menjadi pertimbangan bagi kelanjutan pembahasan RUU berkenaan.
“Kita akan diteruskan ke DPR RI agar mendengar kekhawatiran teman-teman sekalian yang berada di daerah,” tambah Cak Nur.
Sementara itu aksi damai ini puluhan wartawan itu untuk mengkritisi revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas DPR RI. Unjuk rasa tersebut, diikuti langsung masing-masing ketua organisasi pers dan perusahaan pers, antara lain; Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Serikat Perusahaan Pers (SPS) Kepri, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kepri, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). Mereka menuding sejumlah pasal dalam RUU versi Maret 2023 itu, problematik dan bakal melanggar kemerdekaan pers, sebagaimana diatur UU Nomor 40 Tahun 1999
Ketua PWI Kepri, Andi, mengatakan, pada prinsipnya bukan menolak UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Penyiaran itu dilakukan revisi, namun yang tidak disetujui dan ditolak adalah pasal-pasal yang diduga mengandung sejumlah ketentuan yang dapat digunakan, untuk mengontrol dan menghambat tugas-tugas jurnalistik. Beberapa pasal karet, kata Andi, bahkan mengandung ancaman pidana bagi wartawan dan media, yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan pihak tertentu.
Tidak hanya wartawan, sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran juga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, dan diskriminasi terhadap kelompok marginal. “Kekangan ini akan berakibat pada memburuknya industri media, dan memperparah kondisi kerja para buruh media dan pekerja kreatif di ranah digital,” ujarnya.
ANCAMAN KEBEBASAN PERS:
Pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draft pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.
Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi. Selain itu adanya ancaman pidana bagi wartawan yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi wartawan.
Revisi ini juga sangat mungkin dapat digunakan untuk menekan media, agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan. Seperti termuat dalam draft pasal 51E. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri, Andi, menduga munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi, berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten YouTube, podcast, pegiat media sosial, dan sejenisnya.
JURNALIS KEPRI MEMINTA:
DPR RI segera menghentikan pembahasan Revisi UU Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini. DPR RI harus melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Juga memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat, harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers sebagai hak asasi manusia (HAM) yang harus dijaga dan dilindungi.(*)